Perempuan yang Kesepian


                                              



            Suatu ketika, aku menghabiskan seluruh waktu 8 jam hanya membaca buku. Kadang kala terasa membosankan ketika sekadar bersenang-senang, jalan-jalan bareng teman lalu tertawa bersama di sepanjang perjalanan. Well, aku bukan tipe perempuan yang suka hang out apalagi shopping hanya untuk menyegarkan mata.



Menjadi seorang yang ramah dengan sebuah kamar, membuat diri ini selalu dijuluki perempuan kuper (kurang pergaulan). Pagi hingga sore kerja ,lalu malamnya lanjut kuliah. Duduk di dalam kelas, membuka handphone, membaca cerita di wattpad atau membaca novel yang kubawa. Selalu seperti itu, atau terkadang jika mood sudah membaik, diri ini mulai bergaul dengan teman-teman, mengobrol, tertawa, bahkan bertingkah konyol sampai-sampai mereka beranggapan bahwa aku orang yang aneh. Tidak heran, karena nyatanya terkadang aku juga tidak mengerti dengan diriku sendiri yang melewati batas bercandanya. Di satu sisi bisa menjadi lebih pendiam, di sisi lain mampu menjadi sosok yang sangat aktif.



            Kerap kali ibu bertanya, “Punya teman nggak di sekolah?”



            Pertanyaan sederhana yang seharusnya mudah untuk dijawab. Namun diriku tidak langsung menjawab, tetapi hanya tertawa. Beliau takut anak semata wayangnya menjadi sosok yang apatis, kurang pergaulan atau bisa jadi malah jauh dari kata pertemanan. Nasihat terbaik yang selalu meluncur adalah ketika beliau mengatakan untuk tidak memandang sebuah pertemanan secara rendah, karena ada kalanya kita membutuhkan orang lain untuk memulai kehidupan. Aku tahu, tetapi bukankah mencoba menganalisa pertemanan itu juga perlu?



            “Len, pulang kuliah makan mie kober, yuk!” Ajak salah seorang teman sekelasku



            “Maaf ya, aku nggak bisa. Udah jam 10 malam, takut ditungguin orang rumah.” 



            Lagi-lagi aku hanya bisa menolak dan menolak setiap ajakan dari teman-temanku. Sebenarnya aku berbohong jika orang rumah menunggu, karena ibupun selalu berpesan kalau memang ada temanku yang mengajak kemana, boleh ikut asal tidak melakukan hal-hal yang merusak. Bukannya aku tidak ingin kumpul dengan mereka, namun adakalanya diri ini ingin menyendiri, menikmati waktu sendiri atau seperti sekarang yang aku lakukan yaitu mengetik sebuah cerita di laptop. Membuat cerita adalah salah satu hobiku. Hobi yang menyenangkan, di mana dengan menulis aku bisa mencurahkan segala isi hati melalui sebuah cerita. Bukankah tulisan ini seperti mengandung unsur curhatan?



            Tetapi, jika terus menerus seperti ini bukankah rasa sosial itu tidak ada? Ah, seorang teman pernah berkata bahwa memiliki banyak teman itu menyenangkan. Kita bisa berbagi cerita, berdiskusi banyak hal, melakukan segalanya dengan mudah dan tentunya menyenangkan. Temanku itu adalah orang yang mudah bergaul, dia selalu ceria setiap saat. Saat masuk kelas, tawa dan suara cemprengnya menggema di seluruh ruangan, bahkan ia termasuk mahasiswa aktif. Kadang akupun iri, mengapa dia dengan mudah berteman sedangkan diriku tidak?



            “Kamu sudah makan?” Aku tersentak ketika seseorang duduk di depan meja yang sedang aku tempati untuk mengetik cerita. Menatap orang itu sebentar dan tersenyum simpul. Dia salah satu kakak tingkatku di kampus, seseorang yang menurutku mudah bergaul dengan siapa saja.



            “Belum kak.” Aku menjawab singkat, lalu menutup layar laptop. Merasa tidak sopan jika harus melanjutkan pekerjaan ini, sedangkan ada seseorang di depan. Memasukkan laptop ke dalam tas, lalu menyeruput ice coffe yang ternyata belum aku minum sama sekali.



            Sebenarnya, aku tidak tahu harus memulai seperti apa suasana canggung yang ada sekarang ini. Karena bagaimanapun orang di depanku hanya tersenyum dan menatap ke depan tanpa mau memulai pembicaraan, bahkan dia mengabaikan makanan yang ia pesan tadi. Merasa risih, aku mencoba izin untuk pamit pergi. Kulihat dia mendesah kecewa namun sedetik kemudian ia langsung tersenyum dan menganggukkan kepala. Apa ada yang salah?



            Di tempat kerja, aku tidak banyak memiliki teman  karena aku menjaga sebuah gallery milik saudaraku dan tidak ada pegawai lain selain diriku yang memegang kendali. Ada rasa bosan dan jenuh tersendiri ketika kesepian itu kembali menyapa, namun dari situ pula aku merasakan ketenangan karena ketika banyak orangpun aku akan merasa mual dan puising. Apa ini yang dinamakan penyakit?



            Saudaraku, banyak yang menganggap bahwa aku adalah orang yang sombong karena tidak memiliki banyak teman dan tidak mudah bergaul. Bahkan mereka, kadang menjadikan topik pembicaraan ketika acara keluarga sedang berlangsung. Aku merasa tidak peduli dengan semua itu, karena merekapun tidak tahu dengan kenyataannya. Bukankah ini masalah pribadi masing-masing, sama seperti ketika kau memutuskan akan menikah dengan siapa kelak? Ini seperti sebuah tantangan hidup ketika usia mulai bertambah mengikuti waktu, aku mulai merasakan itu semua. Merasakan yang namanya “butuh” karena kenyataannya aku menjadi perempuan yang kesepian.



            Pintu rumah terbuka, menampilkan sosok ibu yang tersenyum ramah dengan balutan daster rumahannya serta jilbab warna hitam. Peluh menetes membasahi punggungnya yang mulai terlihat renta. Ia mempersilahkan aku untuk masuk rumah, menggiring ke arah dapur dan menyuruhku untuk segera makan.



            “Tadi temanmu kesini, katanya ada tugas yang mau dikerjakan. Tapi ibu bilang kalau kamu belum pulang kerja.” Aku hanya menganggukan kepala sambil berdehem.



            “Sekali-kali ajak mereka main ke sini, nanti ibu buatkan timus yang banyak sama pisang goreng.” Ibuku memang suka sekali membuat jajanan tradisional lalu menjualnya di warung-warung terdekat. Itulah kenapa aku memutuskan untuk bekerja, karena tidak ingin membebaninya dengan biaya kuliah atau kebutuhanku yang lain.



            Semakin hari aku semakin mengerti bahwa tidak ada hidup yang sempurna, tetapi Tuhan menciptakan kekurangan dan kelebihan sebagai bentuk penyempurna dari keduanya. Banyak manusia yang mengelu-elukan hidupnya, termasuk diriku tetapi sekarang aku paham bahwa ada rasa syukur sebagai pelengkap dan penyempurna kehidupan. Awalnya aku tidak percaya, bahwa hidup ini akan baik-baik saja setelah ayah meninggal, karena aku takut tidak bisa bertahan dalam menggapai semuanya. Namun sekarang aku paham, tidak ada yang tidak bisa digapai selama ada usaha dan do’a yang giat. Seperti kata ibu, aku harus lebih banyak bersosialisasi dengan orang-orang di luar karena bagaimanapun bentuk dan sifatnya mereka termasuk jembatan untuk kehidupan dari Tuhan. Bukankah manusia adalah makhluk social? Di mana kita saling membutuhkan dan membantu satu sama lain.



            “Aku akan mencobanya, Bu.” Setelah berkata seperti itu, aku memutuskan untuk bertemu dengan mereka. Menarik napas sebentar agar mampu menghilangkan kegugupan, karena diriku memiliki kebiasaan dari dulu yang tidak bisa dihilangkan yaitu mudah gugup.





            Bagi kebanyakan orang, waktu adalah segalanya. Bahkan itu juga berlaku bagi diriku. Dulu, tidak pernah terpikirkan menikmati waktu senggang untuk mengisinya dengan kegiatan, bahkan waktu itu akan aku habiskan hanya untuk tidur atau menikmati film yang sudah di download. Sungguh hidupku sangat monoton dan membosankan. Tetapi sekarang semua telah berubah, semenjak diriku harus berjuang untuk mempertahankan pendidikan tanpa bantuan beasiswa, atau saat bertahan demi ibu yang bekerja keras demi memberiku dan adik makan, semua itu tidak lagi sama karena waktu adalah yang berharga.



Aku pernah membaca sebuah kutipan dari penulis puisi terkenal di Indonesia yaitu eyang Sapardi bahwa, yang fana adalah waktu. Kita abadi memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa. Dan seperti itulah hakikatnya hidup, karena waktu akan terus berjalan tanpa mau untuk berhenti, tetapi waktu bukanlah keabadian karena setiap mereka yang diambil napasnya oleh sang malaikat maut, maka waktu mereka di dunia sudah habis. Waktu itu seperti bayang-bayang, kita tidak bisa mengejarnya karena sejatinya dia berjalan beriringan dengan kita. Sekalipun kita berhenti, waktu itu akan terus berjalan dan terus akan menjadi teman yang diikuti oleh diri kita sendiri.





       Mungkin aku pernah menikmati waktu kesendirian, tetapi ternyata itu tidak cukup. Hidup perlu bersosialisasi, meskipun yang kita tahu bahwa akan ada orang-orang kejam di dalamnya. Namun, dari hal tersebut kita bisa belajar untuk membuang kesepian menjadi sebuah kedamaian.





















Selesai

           




Komentar

  1. Cerita ini sama dengan diriku, yg terlalu terbiasa dgn keaibukanku sendiri dan tidak perduli pada hal yg lainnya. Namun bukan berarti aku sombong, hanya aku terbiasa dgn aktifitas ku sendiri.
    Dan ternyata itu "KESEPIAN"

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bener. Terkadang kita menyendiri karena ingin mengumpulkan energi sebelum berkecimpung dengan banyak orang.

      Hapus
  2. Dari cerita di atas klo boleh saya simpulkan, kakak orang introvert yg nyaman dengan ketenangan. Ngga ada salahnya kok, karena tiap manusia berbeda2 sifat dan karakternya. Dan alhamdulillah kakak mampu berubah dan sadar hingga berusaha untuk terbuka dengan sesama meskipun itu sangat sulit. Karena kakak telah sadar manusia adalah makhluk sosial tak peduli apakah mereka introvert atau ekstrovert. Namun itu lah tujuan perbedaan diciptakan, yaitu saling melengkapi satu sama lain. Aku mengerti apa yg kamu rasakan karena aku juga introvert. Yg penting kita tetap bersosialisasi.
    Semangat :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Di antara Doa

Bunga di Keranda